Seiji Ozawa, musisi Jepang, adalah sedikit dari warga non kulit putih yang sukses sebagai konduktor di dunia musik Barat. Musikalitasnya yang alami, hangat dan penuh enerji, membawanya ke dunia orkestra yang dikagumi publik dunia.
seiji Ozawa terlahir pada 1 September 1935, di Fenytien (sekarang Shenjang), di provinsi Manchuria, wilayah Liaoning, China, saat pasukan Jepang menduduki wilayah itu. Saat perang pecah, ayahnya yang pemeluk Buddha dan ibunya penganut Presbyterian pindah ke Tokyo.
Sang ibu yang memutuskan untuk membesarkan anak-anaknya menganut Kristen membawa Ozawa mengenal musik Gereja Barat. Terlebih kakaknya, adalah pemain organ di gereja. Ozawa yang sejak awal tertarik dengan musik Barat, dapat tetap memelihara keterikatannya dengan musik traditional negerinya hanya melalui hubungannya dengan komposer lintas-genre, Takemitsu, terutama ketika karirnya mencapai puncak.
Awal Karir
Ozawa mulai belajar piano pada usia tujuh tahun kepada Toyomasu, seorang spesialis Bach, selama sepuluh tahun, salah satu diantara segudang gurunya. Ia masuk ke Toho School di Tokyo pada usia 16 dengan harapan akan menjadi pemain piano orkestra. Ketika kedua jari telunjuknya patah dalam kecelakaan olahraga di sekolah, Toyomasu yang menganjurkan mengambil jurusan conducting, mengenalkannya kepada Hideo Saito. Ozawa menerima penghargaan pertamanya adalah untuk mata-kuliah conducting and composition saat wisuda di Toho School.
Ozawa mulai bekerja bersama Saito dari tahun 1951 sampai 1958 dan menjadi asistennya termasuk untuk tugas-tugas lainnya, sebagai bayaran untuk mengikuti pelajaran darinya. Bahkan disebutkan pekerjaannya meliputi dari memimpin orkestra sampai memotong rumput halaman. Namun Ozawa kemudian mengakui Saito sebagai salah satu dari tiga tokoh terpenting yang mempengaruhi karir musiknya, selain Charles Munch dan Herbert von Karajan.
Karirnya yang pesat melampaui banyak konduktor lainnya dapat terlihat melalui hubungannya yang semakin meningkat dalam mengikuti berbagai undangan dan pertemuan-pertemuan penting. Namun, membawa konsekuensi, ia semakin kekurangan waktu, mengikuti repertoar yang semakin bejibun yang diperlukan agar kepiawaiannya tetap terjaga. Ia bahkan mesti mengebutnya selama bertahun-tahun.
Tahun 1959 Ozawa meninggalkan Jepang, dengan harapan karirnya akan semakin terasah di Europe. Di Paris ia membaca iklan the Bensanaon Interna¬tional Conductor's Competition, yang kemudian diikutinya dan dimenanginya. Para juri di kompetisi Bensanaon itu termasuk diantaranya Charles Munch, mengajaknya untuk mengikuti kompetisi lainnya di Tanglewood di sebelah barat Massachusetts, acara musik tahunan yang diselenggarakan oleh the Boston Symphony Orchestra. Di sana ia meraih Koussevitskv Prize tahun 1960.
Pada tahun yang sama, saat ia belajar di Berlin dengan Karajan, ia juga bertemu Leonard Bernstein. Ozawa kemudian diundang mendampingi Bernstein dan the New York Philharmonic Orchestra dalam tour-nya di Jepang awal 1961 dan menjadi salah satu di antara tiga assistant conductor untuk orkestra tersebut selama musim konser 1961 1962. Dan pada musim konser tahun 1964 1965 ia meraih posisi sebagai konduktor tunggal. Ia kemudian membuat debutnya dengan the New York Philharmonic Orchestra sebagai salah satu dari tiga konduktor yang diperlukan untuk konser Charles Ives' "Central Park in the Dark." Ozawa terinspirasi oleh Bernstein's children's concerts untuk konser serial di TV Jepang beberapa tahun kemudian, meskipun konser Ozawa lebih ditujukan bagi audien dewasa.
Dengan antusias pula Bernstein merekomendasikan kepada Ronald Wilford dari Columbia Artists' Management untuk mengajak Ozawa untuk debutnya bersama the San Francisco Symphony Orchestra pada tahun 1962. Itu pula yang memberinya music directorship pada the Ravinia Festival selama tahun 1964 sampai 1968, acara tahunan bagi the Chicago Symphony Orchestra. Pada tahun 1964 ia menjadi konduktor tamu untuk the Toronto Symphony Orchestra dan kemudian menjadi musical director-nya pada tahun berikutnya. Hingga tahun 1970, ia ditunjuk untuk memegang posisi yang sama bagi the San Fransisco Symphony Orchestra. Beberapa kritik ditujukan kepadanya yang dianggap tak imbang membuat repertoire-nya, bahwa hanya sedikit menampilkan karya-karya komposer Jerman atau Austria seperti Haydn atau Schumann, malahan lebih banyak musik dari era akhir abad 19 atau awal abad 20-an, seperti Brahms, Schoenberg, Bartok, Ravel, dan Debussy.
Menetap di Boston
Pada tahun 1972 ia menjadi musical adviser untuk the Boston Symphony Orchestra kemudian pada tahun berikutnya menjadi music director-nya, saat ia masih menjabat posisi yang sama bagi San Francisco Orchestra. Directorship ganda ini terus disandangnya hingga tahun 1976. Saat kesibukan-kesibukan tersebut semakin membebaninya, akhirnya ia terpaksa melepaskan the West Coast orchestra. Berbagai tanggungjawab yang diembannya diantaranya adalah untuk the Boston Symphony Orchestra termasuk directorship pada Tanglewood Festival, sebuah posisi yang ia pegang sejak tahun 1970, meskipun pada saat yang sama ia mulai bekerja-sama dengan Gunther Schuller.
Ozawa terus memelihara hubungannya dengan Japan dan China sepanjang karirnya, dan menjadi musical adviser bagi the New Japan Philharmonic Orchestra sejak tahun 1968 dan banyak menerima undangan tampil bersama di Osaka dan Saporo. Ketika Republik Rakyat Cina membangun kembali hubungan Budaya-nya dengan dunia Barat pada tahun 1977, ia menerima undangan menjadi konduktor bagi the Beijing Central Philharmonic Orchestra, dan pada tahun berikutnya ia membawa the Boston Symphony Orchestra untuk sebuah tur konser di Cina. Ozawa juga terus berhubungan dengan kalangan musik di negerinya sambil menjalani urusan pribadinya, ia pun meminta agar istrinya Vera dan kedua anaknya untuk tetap tinggal di Tokyo saat menjalani tugasnya ke berbagai benua.
Ketika menjalani berbagai konser di saat awal karirnya ia merasa ada sesuatu yang kurang dalam citra musiknya, yakni identitas dalam musiknya yang dirasa kurang memiliki ciri khas kuat, karena itu Ozawa lantas mengembangkan keutuhan tone dengan style beda yang ia anggap lebih cocok untuk sebuah orkestra besar yang memainkan karya-karya komposisi penuh nuansa dari akhir abad 19 hingga awal abad 20, termasuk karya-karya Mahler, R. Strauss, Sibelius, dan Messiaen. Ia secara mengejutkan juga berhasil dalam membawakan karya-karya Stravinsky, Bartok, dan Schoenherg, yang “memenuhi” koleksi rekaman terbaiknya, meskipun demikian ia sempat pula dikritik kurang berhasil mengangkat keindahan pada karya-karya seperti "Requiem" dari Verdi yang dianggap semestinya cocok untuk dibawakan olehnya.
Opera dianggap lebih menantang bagi Ozawa, disamping memakan waktu lama untuk memahami iramanya, ditambah kesulitan dari segi bahasa yang umumnya menggunakan bahasa Italia, Jerman, Perancis, dan Russian. Debutnya dalam membawakan karya opera dimulai dengan "Cosi fan tutte" karya Mozart di kota Salzburg pada tahun 1969; kemudian yang lain-lainnya seperti "Eugene Onegin" karya Tchaikovsky, "Boris Gudonov" karya Mussorgsky, dan "Saint Francois d'Assise" karya Messiaen yang ia bawakan pertama kali dalam the Paris Opera pada November 1983. Debut Ozawa bersama Metropolitan Opera datang pada tahun 1992.
Pada akhir 1990an, Ozawa mendapatkan perpanjangan kontraknya dengan the Boston Symphony yang memberi senioritas-nya diantara directorship-nya bersama berbagai orkestra Amerika. Kemudian secara teratur ia tampil bersama the Berlin Philharmonic, the New Japan Philharmonic, the London Symphony, the Orchestre National de France, the Philharmonia of London, dan the Vienna Philharmonic dan meluncurkan rekaman bersama the Berlin Philharmonic, the Chicago Symphony, the London Philharmonic, the Orchestre National, the Orchestre de Paris, the Philharmonia of London, the Saito Kinen Orchestra, the San Francisco Symphony, the Toronto Symphony, dan the Vienna Philhar¬monic.
Ozawa merekam lebih dari 130 komposisi bersama the Boston Symphony, dan menghadirkan lebih dari 50 komposer. Ia meraih 2 Emmy awards, pertama untuk konser serial televisi, "Evening at Symphony," dan yang kedua untuk Individual Achievement pada Cultural Programming, "Dvorak in Prague: A Celebration" bersama the Boston Sym¬phony.
Pada tahun 1992 Ozawa menyelenggarakan the Saito Kinen Festival di Natsumoto, Japan, demi untuk membayar janjinya dan mengenang kepada guru masternya. Berbagai penghargaan pun mengalir kepada Ozawa, ia pun diminta membuka sebuah acara konser di Tanglewood yang diselenggarakan atas namanya pada 1994, dan menerima gelar honorary doctor bidang musik dari the University of Massachusetts, the New England Conservatory of Music, dan Wheaton College. Di Jepang, Ozawa menjadi orang pertama penerima the Inouye Sho ("Inouye Award").
Ozawa juga tak lupa memenuhi janjinya: mendukung berbagai kiprah di dunia musik, termasuk satu serial memperingati seratus tahun the Boston Symphony dan perayaan setengah abad Tanglewood festival.
Senin, 31 Agustus 2009
Kamis, 06 Agustus 2009
WS Rendra
Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir Solo, 7 November 1935) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok.
Semenjak masa kuliah beliau sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah. Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya itu. Ia memulai pendidikannya dari TK (1942) hingga menyelesaikan sekolah menengah atasnya, SMA (1952), di sekolah Katolik, St. Yosef di kota Solo.
Setamat SMA Rendra pergi ke Jakarta dengan maksud bersekolah di Akademi Luar Negeri. Ternyata akademi tersebut telah ditutup. Lalu ia pergi ke Yogyakarta dan masuk ke Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada. Walaupun tidak menyelesaikan kuliahnya , tidak berarti ia berhenti untuk belajar. Pada tahun 1954 ia memperdalam pengetahuannya dalam bidang drama dan tari di Amerika, ia mendapat beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA). Ia juga mengikuti seminar tentang kesusastraan di Universitas Harvard atas undangan pemerintah setempat.
Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat. Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat.
Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an. “Kaki Palsu” adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India. Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995). Untuk kegiatan seninya Rendra telah menerima banyak penghargaan, antara lain Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954) Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956); Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970); Hadiah Akademi Jakarta (1975); Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976) ; Penghargaan Adam Malik (1989); The S.E.A. Write Award (1996) dan Penghargaan Achmad Bakri (2006).
Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.
Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.
Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan bahwa ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama sejak persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang. Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menyebabkan Rendra dituding sebagai haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja. Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini.
Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati. Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti tak lama kemudian.
Karya Sajak/Puisi W.S. Rendra:
Jangan Takut Ibu
Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
Empat Kumpulan Sajak
Rick dari Corona
Potret Pembangunan Dalam Puisi
Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta!
Nyanyian Angsa
Pesan Pencopet kepada Pacarnya
Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan)
Perjuangan Suku Naga
Blues untuk Bonnie
Pamphleten van een Dichter
State of Emergency
Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api
Mencari Bapak
Rumpun Alang-alang
Surat Cinta
Sajak Rajawali
Sajak Seonggok Jagung
Semenjak masa kuliah beliau sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah. Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya itu. Ia memulai pendidikannya dari TK (1942) hingga menyelesaikan sekolah menengah atasnya, SMA (1952), di sekolah Katolik, St. Yosef di kota Solo.
Setamat SMA Rendra pergi ke Jakarta dengan maksud bersekolah di Akademi Luar Negeri. Ternyata akademi tersebut telah ditutup. Lalu ia pergi ke Yogyakarta dan masuk ke Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada. Walaupun tidak menyelesaikan kuliahnya , tidak berarti ia berhenti untuk belajar. Pada tahun 1954 ia memperdalam pengetahuannya dalam bidang drama dan tari di Amerika, ia mendapat beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA). Ia juga mengikuti seminar tentang kesusastraan di Universitas Harvard atas undangan pemerintah setempat.
Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat. Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat.
Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an. “Kaki Palsu” adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India. Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995). Untuk kegiatan seninya Rendra telah menerima banyak penghargaan, antara lain Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954) Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956); Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970); Hadiah Akademi Jakarta (1975); Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976) ; Penghargaan Adam Malik (1989); The S.E.A. Write Award (1996) dan Penghargaan Achmad Bakri (2006).
Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.
Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.
Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan bahwa ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama sejak persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang. Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menyebabkan Rendra dituding sebagai haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja. Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini.
Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati. Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti tak lama kemudian.
Karya Sajak/Puisi W.S. Rendra:
Jangan Takut Ibu
Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
Empat Kumpulan Sajak
Rick dari Corona
Potret Pembangunan Dalam Puisi
Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta!
Nyanyian Angsa
Pesan Pencopet kepada Pacarnya
Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan)
Perjuangan Suku Naga
Blues untuk Bonnie
Pamphleten van een Dichter
State of Emergency
Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api
Mencari Bapak
Rumpun Alang-alang
Surat Cinta
Sajak Rajawali
Sajak Seonggok Jagung
Langganan:
Postingan (Atom)